Rabu, 31 Agustus 2016

Sultan Hasanuddin - Ayam Jantan Dari Timur


Sultan Hasanuddin. Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja, oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda.. Beliau diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655).

Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili Kompeni sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni. 

Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660. Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone yang merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Aru Palaka berhasil meloloskan diri dan perang tersebut berakhir dengan perdamaian. Akan tetapi, perjanjian dama tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar. 

Lalu Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Aru palaka, penguasa Kerajaan Bone juga ikut menyerang Kerajaan Gowa. Sultan
Advertisement
Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda.
Reruntuhan Benteng Somba Opu
Makam Sultan Hasanuddin
Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973

Sejarah Perjuangan Karaeng Galesong

Sejarah Perjuangan Karaeng Galesong
Di dalam sejarah, Galesong adalah salah satu wilayah kekuasaan kerajaan Gowa. Karaeng Galesong pertama adalah putra sulung Sultan Hasanuddin dari istri keempatnya bernama I Hatijah I Lo’mo Tobo yang berasal dari Bonto Majannang. Karaeng Galesong lahir pada tanggal 29 Maret 1655. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, Atas dasar bakat kepemimpinan yang dimilikinya, beliau diangkat oleh ayahnya sebagai Karaeng (Kare) di Galesong dan namanya menjadi I Mannindori Karaeng Tojeng Karaeng Galesong (Galesong, termasuk bawahan kerajaan Gowa) dan kemudian menjadi panglima perang kerajaan Gowa.
Kerajaan Gowa yang mahsyur berabad di kaki pulau Sulawesi itu, akhirnya takluk di moncong meriam Kompeni Belanda. Di daerah Bungaya, pada tahun 1667 I Mallombassi Daeng Mattawang, Sultan Hasanuddin bersimpuh pada klausul Bungaya (cappaya ri Bungaya) walau sangat merugikan kerajaan. 15 benteng di sepanjang pesisir selatan runtuh, petinggi kerajaan ramai-ramai tunduk pada Belanda.
Namun, Kompeni tidak serta merta menguasai jalur pelayaran Indonesia barat ke timur. Di laut Spermonde, mereka menyebut adanya gangguan dari “Macassarsche zee rovers”, lanun dari Makassar. Mereka adalah prajurit Kerajaan Gowa yang dipimpin oleh I Mannindori Kare Tojeng, penguasa wilayah Galesong di selatan Somba Opu.
I Mannindori, Raja Galesong atau Karaenga ri Galesong enggan tunduk pada isi Perjanjian Bungaya. Dia sesak pada isi perjanjian yang menurutnya tidak adil. Bulat tekadnya untuk melawan dan memilih meninggalkan tanah leluhurnya, berlayar ke barat menyusun strategi dan melanjutkan perlawanan.
Kualleangna tallanga natoalia” lebih baik ku pilih tenggelam dari pada kembali, begitulah isi benak Karaeng Galesong ketika memutuskan bersiasat ke laut. Dari pada tinggal tapi hanya jadi pemimpin tanpa pengikut, dari pada jadi panglima tanpa prajurit. Dari pada jadi Karaeng tanpa pengikut.
Berdasarkan cerita lisan yang berkembang di dalam masyarakat Galesong bahwa sifat pemberani telah dibuktikan oleh sejumlah orang Galesong dalam menentang dominasi Belanda di tanah Makassar. Diceritakan bahawa I Mangngopangi Daeng Ngutung pernah mengucapkan janji di hadapan Karaeng Galesong, antara lain:

Bajimaki anne abbannang kebo’ karaeng
Pada saatnya kita harus berikrar
Naki bulo sibatang
Dan bersatupadu
Cera’ sitongka-tongka
Seia-sekata
Nanipajappa nikanayya kuntutojeng
Dan menjalankan yang namanya kebenaran
Ansorong bokoi ero’na Balandayya
Membelakangkan keinginan Belanda
Aminasa dudutonga karaeng
Sungguh ku berniat karaeng
Ampannepokangi pasorang
Mematahkan senjatanya
Ma’tangnga parang
Di tengah medan perang
Ampanumbangngangi balembeng ma’bangkeng romang
Meruruntuhkannya bagai Pohon di tepi hutan
Punna nia bura’ne karaeng rewanggang na inakke
Jikalau ada lelaki yang lebih jantan dari saya karaeng
Sere’lipa kuruai kusionjo’ tompo bangkeng
Satu sarung kami berdua saling beradu
Kusikekke kamma lame kukamma mamo kicini karaeng
Saling merobek layaknya ubi, seperti itulah yang karaeng lihat
Tedong a’lagayya jarang sialle ganayya
Bagai kerbau yang beradu, kuda yang bersetubuh
Nampa kicinika I Mangopangngi Daeng Nguntung
Kemudian lihatlah I Mangopangngi Daeng Ngutung
Campagana Bulukumpa
Campagana Bulukumba

Sesudah I Mangopangi lalu berdiri I Pasanri Daeng Kancing bersumpah:
Manna ka’kanying ilau
Walau awan gelap di barat
Bangkeng barakka kucini
Hujan badai yang kulihat
Tamminasayya
Tidak berniat
Towali ri’turungangku
Kembali ke asalku
Eja tompiseng na doang karaeng
Kalaulah merah itulah udang karaeng
Tumbang tompi na nicini
Nantilah runtuh baru kita lihat
Nanisombali tangkana sikalia
Kemudian kita biarkan berlayar (pergi) orang yang tidak berkata tegas

Setelah itu, disusul kemudian I Yumara Daeng Mappasang berikrar:
Bannang ejayya ri Bajeng
Benang merah dari bajeng
Tassampea ri Galesong
Yang tersangkut di Galesong
Tappuki na ta’kombeka
Putus tapi tak kendor
Anrai-raiki karaengku
Ke timurlah wahai raja
Inakke irayanganta
Saya lebih ke timur lagi
Kalakalaukki karaengku
Ke baratlah wahai raja
Inakke ilaukanna
Saya lebih ke barat lagi
Karaengku jammeng
Rajaku wafat
Ikambe lingka tongi seng ri anja
Kami ikut meninggal
Pangkai jeraku karaeng
Tandai kuburanku wahai raja
Tinraki bate onjokku
Tandai bekas telapak kakiku
Tena kuero karaeng lari ri parang bali
Tak kuingin lari dari medan perang
Nakiciniki I Yumara Daeng Mappasang
Lihatlah I Yumara Daeng Mappasang
Bannang ejana Bajeng
Benang merah dari Bajeng
Panjarianna tumanurunga ri Ko’mara
Keturunan tumanurunga’ ri Ko’mara

Karaeng Galesong bersama prajuritnya nan setia, mengembara di Selat Makassar dan mengganggu kepentingan pelayaran Belanda. Kemudian untuk melanjutkan perlwanan melawan VOC, Karaeng Galesong ke tanah Jawa. Ia tidak ingin berada di bawah jajahan Belanda, karenanya memilih untuk meninggalkan tanah Gowa bersama beberapa kerabat kerajaan. Mereka antara lain Karaeng Tallo Sultan Harun arrasyid Tumenanga ri Lampana, Daeng Mangappa (saudara kandung Karaeng Tallo), dan Karaeng Bontomarannu Tumma Bicara Butta Gowa.
Sejarah menuturkan, perjuangan Karaeng Galesong berlanjut ke tanah Jawa. Karaeng Galesong melakukan ekspedisi ke Pulau Jawa untuk membantu perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa (Sultan Banten) dan Raden Trunojoyo (Panembahan Maduretno) dalam memerangi VOC Belanda. Dalam Ekspedisi tersebut terbagi ke dalam beberapa Gelombang, yakni;
Gelombang pertama adalah ekspedisi yang dipimpin oleh Laksamana Besar Karaeng Bontomarannu. Dalam kontingen itu ikut pula para pembesar Kerajaan Makassar beserta dengan laskarnya, antara lain disebutkan : Sultan Harun Al Rasyid (Karaeng Tallo), I Ata Tojeng Daeng Tulolo (Adik Sultan Hasanuddin), I Manindori Karaeng Mangeppe’ dan Syaiful Muluk Karaeng Bonto Majannang. Ekspedisi perang ini terdiri dari 4 armada dengan kekuatan 800 Laskar yang bersenjata lengkap. Mereka merapat di Pelabuhan Banten pada tanggal 19 Agustus 1671.
Gelombang kedua dipimpin oleh Settia Raja Opu Cenning Luwu (Petta Matinroe ri Tompotikka Pajung Luwu XIX) dan I Muntu DaEng Mangappa (Putera Karaeng Bontomarannu), terdiri dari 2 armada dengan 350 Laskar bersenjata lengkap pula. Kontingen ini berlabuh di Banten pada tanggal 16 September 1671.
Gelombang ketiga dipimpin oleh I Mannindori Kare' Tojeng Karaeng Galesong, dimana dalam kontingen ini pula turut ikut Abdul Hamid Daeng Mangalle bersama kedua pengawal setianya dan para tokoh besar Kerajaan Gowa lainnya. Mereka itu adalah I Adulu' Daeng Mangalle (Putera Sultan Hasanuddin), I Fatimah Daeng Takontu (Puteri Sultan Hasanuddin yang terkenal sebagai Panglima Srikandi Balira) dan La Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini'. Kontingen inilah yang paling besar dibanding sebelumnya, yakni : terdiri dari 70 buah armada perang yang memuat 20.000 laskar bersenjata lengkap. Mereka berlabuh di Pelabuhan Banten dalam bulan Oktober 1671.
Tidak dapat dilupakan pula, bahwa hampir bersamaan dengan gelombang pertama ekspedisi tersebut diatas telah menyusul pula kontingen lain yang bertolak dari Pelabuhan Makassar , yakni : Laskar Gabungan Melayu-Makassar berkekuatan 1.200 personil yang dipimpin oleh Ibnu Iskandar Datu Louadin, seorang Minangkabau yang tinggal menetap sebagai pemimpin masyarakat Melayu di Makassar.
Para pembesar Kerajaan Gowa dan sekutunya yang menolak menghentikan perang dengan VOC Belanda ini, menjadikan Kerajaan Banten di Pulau Jawa sebagai tujuan membuka front pertempuran baru. Disebabkan karena disana telah menetap lebih dulu Syekh Yusuf Tajul Khalwati Al Makassari (Tuanta Salamaka). Beliau adalah seorang putera Makassar, menantu I Mangngu’rangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Sombayya Gowa XVI (kakek Sultan Hasanuddin) yang diangkat sebagai "Mufti Kerajaan Banten", lalu dipermenantukan pula oleh Abu'l Fath Abdul Fattah Sultan Ageng Tirtayasa, Raja Banten (1651-1692).
Pada masa pasca Perjanjian Bungaya yang kontroversial itu, telah terjadi perselisihan dalam keluarga antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan puteranya sendiri, yakni : Sultan Abu Nashar Abdul Kahar yang dikenal pula sebagai "Sultan Haji".
Sultan Haji adalah seorang yang sangat loyal terhadap VOC Belanda, sesuatu yang justru sangat dibenci oleh ayahandanya. Sultan Haji dihasut oleh Belanda dengan mengadu domba dengan Keluarganya sendiri, dengan alasan bahwa tahta kerjaan akan diserahkan kepada saudaranya (Pangeran Purbaya) jika tidak segera bertindak. Maka terjadilah pendurhakaan seorang putera kepada ayahandanya demi menuruti bujuk rayu VOC Belanda yang teramat sangat mempengaruhi pola berpikirnya. Maka Perang Banten yang terkenal itu meletus, perang antara ayah dan anaknya.
Perang Banten terjadi pada tahun 1678 sampai tahun 1684, perang antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan Puteranya sendiri (Sultan Haji). Sultan Ageng Tirtayasa beserta puteranya yang lain bernama: Pangeran Hasan (Pangeran Purbaya) dibantu oleh Syekh Yusuf dan Karaeng Galesong serta para pemberani Makassar melawan Sultan Haji yang dibantu sepenuhnya oleh VOC Belanda. Perang itu berkecamuk dengan dahsyatnya, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda yang amat banyak.
Di tengah berlangsungnya Perang Banten yang melibatkan banyak tokoh berbagai bangsa itu, tibalah Raden Kejoran (Panembahan Rama), seorang ulama dan termasuk kerabat dekat Kerajaan Mataram di Banten. Beliau adalah mertua Raden Trunojoyo yang sedang membangun pergerakan melawan Prabu Amangkurat I, Sultan Mataram. Atas permintaan dari Adipati Anom, Raden Kejoran meminta bantuan kepada para petinggi Makassar untuk membantu pergerakan Raden Trunojoyo melawan dominasi VOC Belanda di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Oleh karena adanya pertimbangan dari Syekh Yusuf, maka I Mannidori Kare' Tojeng Karaeng Galesong  dan Karaeng Bontomarannu memenuhi undangan itu, melanjutkan perjuangan melawan VOC di Front Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berangkatlah kedua pemberani Makassar itu bersama segenap laskarnya untuk bergabung dengan Raden Trunojoyo di Kediri yang turut pula dibantu oleh  Daeng Mangika (putera Sultan Muhammad Ali Sombayya Gowa XVIII), I Mappa Arung Tonra Karaeng Rappocini', Karaeng Mamampang dan Sultan Harun Al Rasyid Karaeng Tallo yang disertai oleh para laskar Bima.  Dalam bulan itu pula, susul menyusul pemberani lainnya untuk membantu Raden Tunojoyo, yakni : I Muntu Daeng Mangappa dan I Ata Tojeng Daeng Tulolo bersama segenap laskarnya pula.
Di masa itu Karaeng Galesong diakrabi oleh Trunojoyo dan mendapat restu menikahi putrinya yang bernama Suratna, untuk mempererat hubungannya. Bersama Trunojoyo, bara perlawanan kepada Kompeni tak jua padam. Mereka bersatupadu melanjutkan perlawaanan di kerjaan Mataram terhadap Belanda pada tahun 1676-1679.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang Madura, dan pemberani Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I. Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Sehingga berbalik mendukung ayahnya dan memusuhi Trunojoyo.
Sebelum pernikahan antara Karaeng Galesong dengan anaknya, Trunojoyo meminta Karaeng Galesong dengan pasukannya membantu menyerang Gresik dan Surabaya yang berada dalam kekuasaan Adipati Anom, Dalam beberapa kali pertempuran dengan Belanda yang membantu Mataram, Pasukan Karaeng Galesong seperti ditulis ahli sejarah Belanda, Degraff, Karaeng Galesong berhasil mengobrak-abrik pasukan Adipatai Anom yang kemudian lari ke jawa Tengah. Akhirnya pasukan Madura dan Makassar berhasil merebut Karta (Keraton Plered) ibukota Mataram pada bulan oktober 1676. Kemuduian I Mannindori Karaeng Galesong memindahkan ibukota itu ke Kediri. Setelah Karta direbut, Amangkurat I terpaksa melarikan diri dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. 
Karaeng Galesong Abadi di Ngantang, Kabupaten Malang
Menurut catatan sejarah, di akhir perjuangannya di tanah Jawa. Beliau wafat Pada tanggal  21 November 1679 di daerah Ngantang Kabupaten Malang. Kisah kematiannya diperoleh sejarawan Leonard Andaya dari Kolonel Archief, yang catatannya sekarang masih tersimpan rapi di Denhaag.
Demikianlah Sejarah Perjuangan Karaeng Galesong, yang dapat saya shrae pada kesempatan ini.

Legenda Kera Putih Bantimurung

Parikadong (cerita rakyat) yang populer di Kabupaten Maros. Menceritakan tentang Kerajaan Toale atau hutan yang sekarang berlokasi di wilayah kawasan Taman Wisata Alam Bantimurung.

Bermula ketika lahir seorang putri cantik jelita di Kerajaan Cendrana yang diberi nama Bissudaeng. Karena kecantikan dan kelembutannya, jangankan kaum lelaki pada zaman itu, binatang pun tertarik dan akrab kepadanya.

Tersebutlah seorang raja di Kerajaan Toakala yang memerintah bangsa kera, ketika sunyi melarutkan semedinya, kecapi emas di pangkuannya sesekali terdengar menghenyakkan alam Benti Merrung (nama asli Bantimurung), maka teringatlah ia kepada Bissudaeng saat pertemuanya pada pesta raga yang diadakan di Kerajaan Marusu. 

Dalam semedinya ia menerawang, terdengar alunan syair lampau yang seumur dengan alam tersebut; “Ndi, sudah dua purnama kita tak bertemu, badanku gemetar hingga kelubuk hatiku, aku takkan biarkan Karaeng (Raja) mengurungmu di Istana Cendrana."

"Oh angin, sampaikan rinduku kelubuk hatinya, sebab tak bersamanya serupa dengan kematian. Jika aku tak mempersuntingmu Bissudaeng, biarlah para Dewa mengutukku. Bissu Daeng, Oh... Bissu Daeng, aku bersumpah! O... Boting Langi’ Kutuklah aku menjadi kera putih jika takdirku tak bisa mempersuntingnya".

Tiba-tiba bumi berguncang, langit menyeramkan, angin bertiup kencang, petirpun menyambar menjemput sumpah Toakala. Melihat kejadian yang tiba-tiba itu bala tentara Toakala datang dengan tergopoh-gopoh penuh keheranan.

“Ada apa Toa, kenapa teriak-teriak yang menyebabkan alam bergemuruh, padahal aku sementara mengintai Bissudaeng Toa, lihatlah di istana Cendrana selalu ramai. Bissudaeng dikelilingi Tau Kabbalana (kebal senjata) Cendrana," seru kera-kara tersebut. “Tapi kita pakai akal Toa”, sambil sikapnya melirik pada tuannya, kata seekor kera, panglima dari kelompok kera tersebut.

Tiba-tiba seekor kera  meraih bende (semacam teropong) dan mengintai kerajaan Cendrana. Sambil mengelus-elus badannya, Puto Bambang Riabbo bertanya pada temannya yang memegang bende; “Siapa yang kau lihat?" Dengan berbisik Puto Manniri Ballo menjawab; "Bissu Daeng." Karena penasaran ingin melihat Bissu Daeng, kelima bala tentara Toakala itu berebut bende.

Pada sebuah taman dekat Balla Lompoa (rumah kerajaan), terdengarlah riuh merdu suara seorang wanita. Setelah beberapa kerumunan yang melingkarinya bergeser, tampaklah  Bissudaeng dihiasi kupu-kupu, pada mahkotanya, rupannya ia sedang bermain dengan dayang-dayangnya. Tapi tak lama setelah keceriaan itu tampaklah sang putri sedang dilanda gundah gulana.

Tanrosai salah seorang dayang-dayang bertanya; “Kenapa putri tidak berusaha membujuk Karaeng untuk tidak meneruskan keinginannya menjodohkan putri dengan putra Kerajaan Marusu, bukankah putri...? Bissudaeng memotong pembicaraan Tanrosai; “Toakala maksudmu Tanrosai, Karaeng adalah ayahandaku, Toakala adalah hidupku. Tapi perjodohan ini sudah tergaris sejak aku masih dalam ayunan."

Tiba-tiba Kanang, dayang lain berbicara meskipun dengan suara yang gemetar; “Maafkan saya putri jika hamba lantang bicara, seandainya putri meninggalkan istana ini, apa yang akan terjadi?" "Perang kanang," kata Tanrosai jelas-tegas. Kanang menimpali; "Artinya jika itu gagal, Kerajaan Marusu akan memerangi Kerajaan Cendrana?"

Dengan perasaan gundah gulana, Bissudaeng meninggalkan taman itu bersama dayang-dayangnya menuju istana. Tak dinyana tiba-tiba, Bissudaeng dicegat sekelompok pasukan kera, alhasil Bissudaeng pun diculik, sambil diarak oleh sekelompok kera yang membawanya menuju jalan ke istana Kerajaan Toakala di Bantimurung.

--------------------------
Bende = semacam teropong
Benti Merrung = air meruah/bergmuruh (Bantimurung kini)
Boting Langi = penguasa langit
Dewata Seuwwae = dewa di langit
Je’ne Tae’sa = tempat yang tak pernah kering/ selalu berair
Balla Lompoa’ = rumah/istana kerajaan

Itulah sedikit cerita yang dapat saya deskripsikan untuk dan saya memohon maaf jika ada yang tidak lengkap

Rabu, 03 Agustus 2016

SEJARAH PROKLAMASI NEGARA INDONESIA

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota HiroshimaJepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia.
Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut SaigonVietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Pada tanggal 10 Agustus 1945Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang.
Pada tanggal 12 Agustus 1945Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI. Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.
Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat,Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.
Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara danAngkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1.Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Keesokan harinya Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 pagi 16 Agustus guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945, Para pemuda pejuang termasuk Chaerul saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih dan pemuda lainnya membawa soekarno, beserta fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan dan hatta ke rengasdengklok yang kemudian dikenal dengan peristiwa rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo keRengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Dan Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu – buru memproklamasikan kemerdekaan.
Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, Lalu bertemu dengan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945telah diterima perintah dari Tokio bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak dapat memberi ijin untuk mempersiapkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam. Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu. Setelah dari rumah Nishimura, Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi.
Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh SoekarniB.M. Diah, Sudiro dan Sayuti Melik. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Dan Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik milik Mayor Dr. Hermann Kandeler (dari kantor perwakilan AL Jerman). Dan  pembacaan proklamasi dilakukan dikediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).
Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56telah hadir antara lain SoewirjoWilopoGafar PringgodigdoTabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan oleh seorang prajurit PETA yaitu Latief Hendraningratdibantu oleh Soehoed dan seorang pemudi membawa nampan berisi bendera Merah Putih . Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum TuguMonumenNasional.
Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional

Jumat, 29 Juli 2016

Cinta Sejati

Cerita cinta sejati yang diambil dari kisah nyata, dimana ada sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama 5 tahun lebih. Reza dan Lisa, dua nama tersebut adalah pemeran utama dalam cerita cinta sejati ini. Awal terjadinya cerita cinta ini, adalah saat Reza dan Lisa sedang berada di salah satu tempat kursus Bahasa Inggris. Hari itu Lisa baru lulus SMA, sedang menjalani kursus Bahasa Inggris di tempat kursus dekat rumahnya. Tiba-tiba datanglah Reza yang juga akan mengikuti kursus di tempat tersebut karena Reza kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan apabila tidak memiliki keahlian. Pada pandangan pertama, Reza dan Lisa yang memang keduanya memiliki paras wajah yang bisa dibilang cakep langsung saling jatuh cinta. Reza yang biasanya takut dan malu untuk berkenalan dengan wanita, entah mengapa ketakutannya itu menghilang sejenak setelah melihat Lisa. Akhirnya Reza dan Lisa berkenalan di tempat kursus tersebut. Mereka saling berkomunikasi setiap hari baik secara langsung ataupun lewat media komunikasi.
Singkat cerita, Reza dan Lisa akhirnya semakin dekat dan sekarang mereka berpacaran. Mereka berpacaran sehat karena keduanya memang saling menyayangi satu sama lain. Tidak ada seorangpun yang mendekati untuk mengganggu pasangan setia ini karena keduanya saling menjaga hati kekasihnya. Setiap hari mereka bertemu di tempat kursus dan di tempat lainnya untuk belahar Bahasa Inggris bersama. Suatu hari Reza bertanya “Sayang, kamu kursus Bahasa Inggris untuk apa?” dan Lisa menjawabnya “Aku hanya mengisi waktuku sayang, selepas SMA aku tidak berniat untuk kuliah ataupun mencari kerja”. Mendengar jawaban seperti itu Reza merasa bingung karena melihat yang ada di dalam diri Lisa tidak sesuai dengan jawaban yang seenaknya seperti itu. Lisa yang pintar, cerdas, dan baik hati tidak mungkin tidak memiliki tujuan hidup selepas SMA. Namun Reza tidak memperpanjang pertanyaannya itu, Reza mengganggap kalau kekasihnya itu belum ingin memberitahu rencana selanjutnya kepadanya. Dan Reza tetap berfikir positif karena Lisa selalu memberikan yang terbaik untuk semuanya.
Hubungan Reza dan Lisa semakin hari semakin dekat, dan Reza merencanakan pernikahan dengan Lisa. Lisa-pun setuju, dan mereka berencana untuk menikah di tahun depan. Namun selama mereka menunggu datangnya hari bahagia itu, Reza selalu menuruti kemauan Lisa meskipun belum menjadi istrinya. Begitupun sebaliknya, Lisa selalu menghargai setiap larangan dan perintah yang diberikan Reza layaknya seorang suami. Pada satu hari, Lisa meminta agar Reza tidak menghubunginya selama satu minggu untuk menguji kesetiaannya. Lisa berkata “Sayang, setiap hari kita bersama. Walaupun tidak bersama, tetapi kita selalu saja berkomunikasi lewat HP. Aku ingin menguji kesetiaanmu padaku, kita harus istirahat selama satu minggu tanpa komunikasi lewat apapun”. Mendengar kekasihnya berkata begitu Reza merasa sedikit kecewa karena fikirnya kesetiaannya masih diragukan. Pada awalnya Reza menolaknya, tetapi lama-kelamaan akhirnya Reza mengiyakan permintaan kekasih yang dia sayangi itu. Reza berfikiran “Hanya satu minggu saja tanpa kekasih yang kusayangi, setelah itu kita akan bersama lagi setiap hari. Aku harus bisa demi membahagiakannya”. Lisa sangat bahagia karena kekasihnya tetap mau menuruti keinginannya meskipun itu cukup sulit untuk mereka jalani berdua.
Satu minggu berlalu, kini tiba saatnya mereka kembali berhubungan. Reza yang sudah di puncak rindu segera membuka HP dan menghubungi kekasihnya itu. Tetapi HP Lisa tidak aktif, Reza-pun menghubunginya lewat jejaring sosial dan media lainnya, namun tetap saja tidak ada balasan dari Lisa. Akhirnya Reza memutuskan untuk pergi ke rumah Lisa. Setelah sampai dirumah Lisa, Reza sangat kaget karena mendengar kabar dari keluarganya bahwa Lisa telah meninggal. Lisa sudah lama mengidap kanker paru-paru dan sudah sangat parah, namun Lisa tidak pernah memberitahu hal tersebut kepada Reza. Sepucuk surat diberikan oleh ibu Lisa, “Nak, Lisa meminta ibu untuk memberikan surat ini kepada nak Reza sebelum dia pergi”. Reza membuka dan membaca surat itu dengan penuh air mata, surat itu berisi “Reza kekasihku sayang, terima kasih karena kamu sudah setia menungguku dan tetap mencintaiku walau tanpa komunikasi. Sekarang lakukanlah itu setiap hari, cintai aku selamanya walau tanpa komunikasi, I love U”